Cara Kerja Pembangkit Listrik dari Tenaga Energi Biogas PLTBg

Cara Kerja Pembangkit Listrik Energi Biogas: Mengubah Limbah Organik Menjadi Sumber Daya Berharga

Penulis: Ardhy Yuliawan Norma Sakti

Founder Cara Kerja Teknologi, Alumni Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) & Engineering Technology SIIT Thammasat University, dengan pengalaman 4 tahun di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan saat ini di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

 

cara-kerja-pembangkit-listrik-tenaga-biogas-pltbg
cara kerja pembangkit listrik tenaga biogas pltbg

Isu perubahan iklim mendesak diversifikasi energi dan pencarian sumber daya terbarukan dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing negara.

Indonesia, dengan kekayaan sumber daya hayati dan sektor pertanian yang luas, memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya termanfaatkan yakni limbah organik.

Dari sisa makanan hingga kotoran ternak dan limbah pertanian, semua ini adalah sumber daya yang dapat diubah menjadi energi bersih melalui proses biokimia yang menghasilkan biogas.

Pemanfaatan biogas untuk pembangkitan listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) menawarkan solusi ganda untuk pengelolaan limbah yang berkelanjutan dan produksi energi terbarukan.

Biogas, sebagai produk akhir dari dekomposisi anaerobik bahan organik, utamanya tersusun dari gas metana (CH₄). Gas metana ini, jika terlepas langsung ke atmosfer, merupakan gas rumah kaca yang jauh lebih berbahaya daripada karbon dioksida.

Namun, jika ditangkap dan dibakar (diubah menjadi CO2) untuk menghasilkan energi, potensi dampaknya terhadap lingkungan dapat dikurangi secara drastis.

Ini membuka pertanyaan-pertanyaan krusial: Bagaimana proses pembentukan biogas terjadi? Seberapa besar dampak gas metana yang terlepas ke atmosfer? Mengapa mengubah metana menjadi energi lebih ramah lingkungan?

Bagaimana dengan sistem septic tank domestik di Indonesia? Bisakah sampah makanan, yang mendominasi komposisi sampah kita, menjadi solusi melalui biogas? Apa saja potensi bahan baku biogas lainnya di Indonesia, seperti kotoran sapi atau biomassa tanaman?

Dan yang paling penting, bagaimana cara kerja Pembangkit Listrik Tenaga Biogas, dan apa kelebihan serta kekurangannya dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm)?

Artikel ini akan mengupas tuntas "Cara Kerja Pembangkit Listrik Energi Biogas", mulai dari dasar-dasar pembentukan biogas, dampak lingkungan metana, potensi bahan baku di Indonesia, komponen dan mekanisme kerja PLTBg, hingga analisis komparatif dengan PLTBm.

Informasi ini disajikan dari perspektif seorang insinyur yang telah mengamati langsung teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Biogas dari sisa cacahan tanaman pangan di Thailand.

Daftar Isi


Apa Itu Biogas dan Bagaimana Proses Pembentukannya Terjadi?

Biogas adalah campuran gas, yang sebagian besar terdiri dari metana (CH₄) dan karbon dioksida (CO₂), yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik dalam ketiadaan oksigen.



Proses ini dikenal sebagai pencernaan anaerobik (anaerobic digestion). Ini adalah proses alami yang terjadi di rawa-rawa, dasar danau, dan di dalam usus hewan, namun dapat juga direkayasa dalam kondisi terkontrol di fasilitas yang disebut digester anaerobik atau biodigester.

Definisi Biogas

Biogas adalah gas yang mudah terbakar, umumnya sekitar 50-75% metana (CH₄), 25-45% karbon dioksida (CO₂), dan sejumlah kecil gas lain seperti hidrogen sulfida (H₂S), nitrogen (N₂), hidrogen (H₂), dan uap air.

Kandungan metana yang tinggi inilah yang menjadikannya sumber energi yang berharga.

Bahan Baku Pembentukan Biogas

Berbagai jenis bahan organik dapat digunakan sebagai substrat atau bahan baku untuk pembentukan biogas. Yang paling umum meliputi:

  • Kotoran Ternak: Kotoran sapi, kerbau, ayam, dll.
  • Limbah Pertanian: Jerami, sekam padi, ampas tebu, sisa panen, dll.
  • Limbah Makanan: Sisa-sisa dapur, limbah dari industri pengolahan makanan.
  • Limbah Domestik: Limbah cair tinja (feses) dan urine manusia.
  • Limbah Industri: Limbah dari pabrik tahu, pabrik tapioka, pabrik kelapa sawit (POME), dll.
  • Tanaman Energi: Tanaman yang sengaja ditanam untuk tujuan produksi biomassa, lalu dicacah dan diolah menjadi biogas.

Proses Pencernaan Anaerobik (Anaerobic Digestion)

Pembentukan biogas melalui pencernaan anaerobik melibatkan empat tahapan biokimia utama yang dilakukan oleh berbagai kelompok mikroorganisme dalam lingkungan tanpa oksigen:

  1. Hidrolisis (Hydrolysis): Ini adalah tahap pertama, di mana molekul-molekul organik kompleks (seperti karbohidrat, protein, dan lemak) dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana (gula, asam amino, asam lemak) oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri hidrolitik. Proses ini memerlukan air.
  2. Asidogenesis (Acidogenesis): Molekul-molekul sederhana yang terbentuk dari hidrolisis kemudian diubah oleh bakteri asidogenik menjadi asam lemak rantai pendek (seperti asam asetat, propionat, butirat), alkohol, hidrogen, dan karbon dioksida. Lingkungan pada tahap ini cenderung menjadi asam.
  3. Asetogenesis (Acetogenesis): Pada tahap ini, bakteri asetogenik mengkonversi asam lemak dan alkohol yang terbentuk sebelumnya menjadi asetat (asam asetat), hidrogen (H₂), dan karbon dioksida (CO₂). Asetat ini adalah prekursor langsung untuk metana.
  4. Metanogenesis (Methanogenesis): Ini adalah tahap terakhir, di mana kelompok mikroorganisme yang disebut metanogenik mengubah asetat, hidrogen, dan karbon dioksida menjadi metana (CH₄) dan karbon dioksida (CO₂). Bakteri metanogenik sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan, terutama pH dan keberadaan oksigen. Mereka hanya dapat tumbuh dalam kondisi anaerobik murni.

Seluruh proses ini terjadi di dalam sebuah reaktor tertutup (digester anaerobik) yang dirancang untuk menjaga kondisi anaerobik dan suhu optimal bagi aktivitas bakteri.

Desain digester bervariasi, mulai dari yang sederhana (balon digester) hingga yang kompleks dan berskala industri. Biogas yang dihasilkan kemudian dikumpulkan dan dapat dimurnikan atau langsung digunakan sebagai bahan bakar.

Sebagai seorang insinyur yang mengamati langsung di Thailand, saya melihat bagaimana sisa cacahan tanaman pangan seperti jagung atau singkong dapat menjadi substrat yang sangat baik untuk proses ini, asalkan pra-perlakuan yang tepat (penghancuran dan pencampuran dengan limbah lain) dilakukan untuk mengoptimalkan produksi biogas.

Apa Dampak Lingkungan Gas Metana yang Terlepas ke Atmosfer?

Gas metana (CH₄) adalah komponen utama dari biogas, dan juga merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) paling kuat setelah karbon dioksida (CO₂).

Ketika metana terlepas ke atmosfer, dampaknya terhadap pemanasan global jauh lebih signifikan per unit massa dibandingkan CO₂. Memahami dampak ini adalah kunci untuk menghargai pentingnya penangkapan dan pemanfaatan metana.

Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potential/GWP) Metana

Metana memiliki GWP yang jauh lebih tinggi daripada CO₂. GWP adalah ukuran seberapa banyak energi yang akan diserap oleh 1 ton emisi gas tertentu selama periode waktu tertentu (biasanya 100 tahun), dibandingkan dengan emisi 1 ton karbon dioksida. Untuk metana:

  • GWP Metana = 25-28 kali CO₂ selama 100 tahun. Artinya, satu ton metana yang dilepaskan ke atmosfer akan memerangkap panas 25-28 kali lebih efektif daripada satu ton CO₂ dalam kurun waktu satu abad.
  • Meskipun masa tinggal metana di atmosfer lebih pendek (sekitar 12 tahun) dibandingkan CO₂ (ratusan hingga ribuan tahun), kekuatan radiatifnya yang tinggi di awal masa pelepasannya menjadikannya kontributor signifikan terhadap pemanasan global jangka pendek hingga menengah.

Sumber Utama Emisi Metana Antropogenik (Akibat Aktivitas Manusia)

  • Tempat Pembuangan Akhir (TPA) / Landfill: Ini adalah salah satu sumber emisi metana terbesar dari aktivitas manusia. Ketika sampah organik terurai di TPA tanpa oksigen, proses pencernaan anaerobik alami terjadi, menghasilkan sejumlah besar metana yang kemudian terlepas ke atmosfer.
  • Sektor Pertanian:
    • Peternakan (Fermentasi Enterik): Proses pencernaan hewan ruminansia (seperti sapi dan kerbau) menghasilkan metana sebagai produk sampingan.
    • Sawah Padi: Kondisi anaerobik di sawah basah juga memicu produksi metana oleh mikroorganisme.
    • Pengelolaan Kotoran Ternak: Sistem penampungan kotoran cair (lagoon) yang tidak tertutup juga melepaskan metana.
  • Industri Minyak dan Gas Bumi: Kebocoran dari fasilitas penambangan, produksi, dan transmisi gas alam (yang sebagian besar adalah metana).
  • Pembakaran Biomassa (Tidak Sempurna): Pembakaran biomassa yang tidak sempurna juga dapat melepaskan metana.

Dampak Negatif Metana terhadap Lingkungan

  • Perubahan Iklim:Sebagai GRK yang kuat, metana berkontribusi langsung pada peningkatan suhu global, yang menyebabkan berbagai dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, kejadian cuaca ekstrem, dan perubahan pola iklim.
  • Penipisan Ozon Stratosferik (Tidak Langsung): Meskipun bukan zat perusak ozon langsung, metana berperan dalam reaksi kimia di atmosfer yang dapat memengaruhi konsentrasi ozon stratosferik.
  • Pembentukan Ozon Troposferik (Smog): Metana adalah prekursor penting dalam pembentukan ozon troposferik (ozon lapisan rendah), yang merupakan polutan udara berbahaya bagi kesehatan manusia (masalah pernapasan) dan merusak tanaman.

Mengingat dampak yang merusak ini, menangkap dan memanfaatkan metana yang dihasilkan dari limbah organik tidak hanya membantu dalam pengelolaan limbah, tetapi juga merupakan langkah krusial dalam mitigasi perubahan iklim.

Mengubah metana menjadi energi melalui pembakaran yang terkontrol jauh lebih baik daripada membiarkannya terlepas langsung ke atmosfer.

Jika Gas Metana Dijadikan Energi, Apakah Lebih Ramah Lingkungan Dibandingkan Jika Terlepas Secara Langsung?

Jawabannya adalah YA, secara signifikan lebih ramah lingkungan. Mengubah gas metana yang dihasilkan dari limbah organik menjadi energi adalah strategi mitigasi perubahan iklim yang sangat efektif.

Ada beberapa alasan kuat mengapa pembakaran metana untuk energi lebih baik daripada membiarkannya terlepas langsung ke atmosfer:

1. Perbedaan Potensi Pemanasan Global (GWP)

  • Metana (CH₄) Terlepas Langsung: Seperti yang telah dibahas, metana memiliki GWP sekitar 25-28 kali lebih besar dari CO₂ selama 100 tahun. Ini berarti setiap molekul metana yang dilepaskan ke atmosfer akan memerangkap panas dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada satu molekul CO₂.
  • Metana Dibakar Menjadi CO₂: Ketika metana dibakar sempurna (misalnya dalam mesin gas atau boiler PLTBg), ia akan teroksidasi menjadi karbon dioksida (CO₂) dan uap air (H₂O). Reaksinya adalah: CH₄ + 2O₂ → CO₂ + 2H₂O. Karena GWP CO₂ jauh lebih rendah daripada metana, mengubah metana menjadi CO₂ melalui pembakaran yang terkontrol secara efektif mengurangi dampak pemanasan globalnya.

Dengan kata lain, membakar 1 ton metana menghasilkan sekitar 2,75 ton CO₂. Namun, karena 1 ton metana setara dengan 25-28 ton CO₂ dalam hal potensi pemanasan global, maka pembakaran ini mengurangi dampak iklim hingga 90% (25-28 / 2.75 ~ 9-10 kali lipat pengurangan dampak GRK).

2. Pemanfaatan Sumber Daya Terbarukan

Metana yang dihasilkan dari dekomposisi organik adalah produk dari siklus karbon alami. Ketika tanaman tumbuh, mereka menyerap CO₂ dari atmosfer.

Ketika tanaman atau limbah organiknya terurai menjadi metana, metana tersebut akan terlepas. Jika metana ini ditangkap dan dibakar, CO₂ yang dilepaskan kembali ke atmosfer adalah CO₂ yang "baru" saja diserap.

Proses ini dianggap "netral karbon" dalam jangka panjang, terutama jika dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan karbon yang telah tersimpan selama jutaan tahun.

3. Pengurangan Polutan Lokal (Ozon Troposferik)

Selain menjadi GRK, metana juga merupakan prekursor dalam pembentukan ozon troposferik (smog), yang merupakan polutan udara berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem.

Dengan menangkap dan membakar metana, kita juga mengurangi pembentukan ozon troposferik ini.

4. Manfaat Ganda: Pengelolaan Limbah dan Produksi Energi

Pemanfaatan metana dari limbah organik melalui teknologi biogas memberikan solusi ganda:

  • Pengelolaan Limbah yang Lebih Baik: Mengurangi volume limbah organik yang membusuk secara anaerobik di TPA atau tempat lain, sehingga meminimalkan bau tidak sedap dan risiko kesehatan.
  • Produksi Energi Bersih: Menghasilkan energi listrik yang dapat digunakan untuk rumah tangga, industri, atau kebutuhan lainnya, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Sebagai seorang insinyur, saya dapat mengkonfirmasi bahwa proyek-proyek biogas, terutama yang berasal dari sisa cacahan tanaman pangan seperti di Thailand, tidak hanya menghasilkan listrik tetapi juga secara signifikan mengurangi emisi metana yang seharusnya dilepaskan. Ini adalah pendekatan win-win untuk lingkungan dan energi.

Oleh karena itu, kebijakan dan investasi yang mendukung penangkapan dan pemanfaatan metana dari limbah organik untuk produksi energi adalah langkah yang sangat penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Septic Tank dan Potensi Biogas dari Limbah Domestik di Indonesia

Indonesia secara luas mengimplementasikan sistem septic tank individual atau komunal untuk pengelolaan limbah domestik (tinja dan greywater).

Meskipun septic tank berfungsi sebagai penampungan dan pengolahan awal, sebagian besar di antaranya beroperasi secara anaerobik dan berpotensi menghasilkan gas metana.

Muncul pertanyaan penting: apakah gas metana dari septic tank ini dapat diproses untuk menghasilkan biogas?

Bagaimana Septic Tank Menghasilkan Metana?

Sebuah septic tank pada dasarnya adalah digester anaerobik sederhana. Limbah padat mengendap di dasar dan mengalami dekomposisi oleh bakteri anaerobik.

Selama proses ini, metana dan karbon dioksida adalah produk sampingan alami. Gas ini biasanya dilepaskan ke atmosfer melalui pipa ventilasi yang ada pada septic tank atau rembesan ke tanah.

Potensi Pemanfaatan Metana dari Septic Tank

Secara teknis, metana yang dihasilkan dari septic tank memang dapat ditangkap dan dimanfaatkan sebagai biogas. Beberapa inisiatif telah mencoba mengimplementasikan konsep ini, terutama untuk septic tank komunal atau dalam skala mikro (rumah tangga tunggal).

  • Skala Komunal: Untuk sistem septic tank komunal (misalnya di kompleks perumahan atau permukiman padat), volume limbah yang terkumpul cukup besar untuk mendukung unit biodigester yang mampu menghasilkan biogas yang dapat digunakan untuk memasak atau penerangan beberapa rumah. Ini mengurangi kebutuhan akan gas LPG dan secara bersamaan mengatasi masalah limbah.
  • Skala Rumah Tangga: Meskipun lebih menantang secara teknis dan ekonomis, beberapa desain biodigester mikro telah dikembangkan untuk septic tank rumah tangga tunggal, di mana biogas yang dihasilkan cukup untuk kebutuhan memasak sehari-hari.

Tantangan Pemanfaatan Metana dari Septic Tank di Indonesia

Meskipun memiliki potensi, implementasinya di Indonesia menghadapi beberapa tantangan signifikan:

  • Volatilitas dan Skala Produksi Gas: Produksi metana dari septic tank individu seringkali tidak stabil dan volumenya kecil, sehingga sulit untuk dikumpulkan dan dimanfaatkan secara ekonomis untuk pembangkit listrik berskala besar.
  • Kadar Kontaminan (H₂S): Biogas dari limbah tinja bisa memiliki kandungan hidrogen sulfida (H₂S) yang tinggi, yang bersifat korosif dan berbau. Diperlukan sistem pemurnian (desulfurisasi) sebelum digunakan, terutama untuk mesin pembangkit listrik.
  • Ketersediaan Lahan dan Desain: Desain septic tank yang ada mungkin tidak ideal untuk modifikasi menjadi digester biogas yang efisien. Diperlukan desain yang lebih terintegrasi dari awal.
  • Pemeliharaan dan Keahlian: Sistem biogas memerlukan pemeliharaan rutin dan pemahaman teknis. Keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih di masyarakat dapat menjadi kendala.
  • Aspek Sosial dan Penerimaan: Ada stigma atau ketidaknyamanan sosial terkait dengan penggunaan limbah tinja sebagai sumber energi, meskipun secara teknis aman dan higienis jika dikelola dengan benar.
  • Biaya Investasi Awal: Meskipun dapat menghemat biaya energi jangka panjang, biaya awal pemasangan sistem biogas pada septic tank bisa menjadi penghalang bagi banyak rumah tangga.

Mengingat tantangan ini, potensi terbesar biogas dari limbah domestik di Indonesia mungkin terletak pada pengembangan sistem pengelolaan limbah terpusat atau komunal yang mengintegrasikan biodigester skala lebih besar, daripada mengandalkan modifikasi septic tank individual secara massal untuk tujuan pembangkit listrik. Namun, untuk skala kecil seperti memasak, potensi ini tetap relevan.

Sampah Makanan: Mengapa Mengolahnya Menjadi Biogas Merupakan Solusi?

Sampah makanan mendominasi komposisi sampah di Indonesia, menyumbang hingga 50-60% dari total limbah padat kota.

Meskipun dapat diolah menjadi kompos, mengubah sampah makanan menjadi biogas menawarkan manfaat tambahan yang signifikan, menjadikannya solusi yang sangat menjanjikan untuk masalah pengelolaan limbah dan krisis energi.

Karakteristik Sampah Makanan yang Mendukung Biogas

Sampah makanan sangat ideal untuk produksi biogas karena karakteristiknya:

  • Kandungan Organik Tinggi: Sampah makanan adalah biomassa yang kaya akan karbon, nitrogen, dan unsur hara lainnya yang sangat disukai oleh bakteri penghasil biogas.
  • Kadar Air Tinggi: Meskipun kadar air yang tinggi menjadi kendala untuk pembakaran langsung (insinerasi), ini adalah keuntungan besar untuk pencernaan anaerobik (proses biogas) karena proses tersebut memerlukan lingkungan basah.
  • Cepat Terurai: Sampah makanan cenderung lebih cepat terurai dibandingkan biomassa lignoselulosa (kayu, jerami) yang lebih keras, memungkinkan waktu retensi yang lebih singkat di digester.

Manfaat Mengolah Sampah Makanan Menjadi Biogas

  1. Mengurangi Emisi Gas Metana dari TPA: Sampah makanan adalah penyumbang utama metana di TPA. Dengan mengolahnya di biodigester, metana dapat ditangkap dan dimanfaatkan, secara drastis mengurangi emisi GRK yang berbahaya. Ini adalah dampak lingkungan terbesar.
  2. Produksi Energi Terbarukan (Biogas): Biogas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak (menggantikan LPG), penerangan, pemanas, atau yang paling penting, untuk menggerakkan generator listrik. Ini memberikan sumber energi yang bersih dan berkelanjutan.
  3. Mengurangi Volume Sampah: Proses pencernaan anaerobik mengurangi volume massa sampah makanan secara signifikan, mengurangi tekanan pada TPA dan memperpanjang umur pakainya.
  4. Menghasilkan Pupuk Organik (Digestate): Produk sampingan dari proses biogas adalah digestate, residu cair atau padat yang kaya nutrisi dan dapat digunakan sebagai pupuk organik berkualitas tinggi. Ini membantu meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
  5. Mengurangi Bau dan Vektor Penyakit: Pengolahan sampah makanan dalam sistem tertutup seperti biodigester secara efektif menghilangkan bau busuk yang terkait dengan pembusukan organik dan mengurangi populasi vektor penyakit seperti lalat dan tikus.
  6. Mendorong Ekonomi Sirkular: Mengubah limbah menjadi sumber daya (energi dan pupuk) mendorong model ekonomi sirkular, di mana sampah tidak lagi menjadi akhir, tetapi awal dari siklus baru.

Pengalaman saya di Thailand menunjukkan bahwa mengintegrasikan limbah sisa cacahan tanaman pangan (yang memiliki karakteristik serupa dengan sampah makanan basah) ke dalam sistem biogas sangat efektif.

Bahkan, beberapa PLTBg di sana mencampurkan limbah tanaman dengan kotoran ternak untuk mendapatkan rasio karbon-nitrogen yang optimal, yang meningkatkan produksi biogas. Ini adalah bukti nyata bahwa sampah makanan memiliki potensi besar sebagai bahan baku biogas.

Untuk mengimplementasikan solusi ini di Indonesia, diperlukan sistem pengumpulan dan pemilahan sampah makanan yang efektif di tingkat rumah tangga dan komersial, serta pembangunan fasilitas biodigester skala komunal atau industri yang terdesentralisasi atau terpusat.

Potensi Energi Biogas Lain di Indonesia: Kotoran Sapi dan Tanaman Organik

Selain sampah makanan, Indonesia memiliki sumber daya organik melimpah lainnya yang sangat berpotensi untuk produksi biogas, di antaranya adalah kotoran ternak (terutama kotoran sapi) dan berbagai jenis tanaman organik.

Pemanfaatan sumber-sumber ini dapat memperkuat bauran energi terbarukan nasional dan mendukung ekonomi pedesaan.

1. Kotoran Sapi (Manure)

Indonesia memiliki populasi sapi yang sangat besar, baik sapi potong maupun sapi perah, yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap sapi dapat menghasilkan rata-rata 10-20 kg kotoran basah per hari. Kotoran sapi adalah bahan baku yang sangat ideal untuk biodigester karena:

  • Kandungan Nutrisi yang Seimbang: Kotoran sapi mengandung rasio karbon dan nitrogen yang relatif seimbang, kondisi ideal untuk pertumbuhan bakteri metanogenik.
  • Produksi Biogas yang Stabil: Dengan pasokan yang kontinu, biodigester berbasis kotoran sapi dapat menghasilkan biogas yang stabil.
  • Volume Besar dan Terkonsentrasi: Di peternakan skala besar, kotoran sapi terkumpul dalam volume besar di satu lokasi, memudahkan pengumpulan dan pemrosesan.

Potensi di Indonesia: Pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas telah banyak diimplementasikan dalam skala kecil (rumah tangga) di pedesaan, di mana biogas digunakan untuk memasak atau penerangan.

Namun, potensi besar ada pada peternakan skala menengah hingga besar, di mana PLTBg dapat dibangun untuk menghasilkan listrik bagi kebutuhan internal peternakan atau bahkan disalurkan ke jaringan.

Selain biogas, digestate dari kotoran sapi juga merupakan pupuk organik yang sangat baik, mengurangi kebutuhan pupuk kimia.

2. Tanaman Organik (Dedicated Energy Crops dan Limbah Pertanian/Perkebunan)

Indonesia adalah negara agraris dengan produksi biomassa tanaman yang masif, baik dari limbah pertanian/perkebunan maupun tanaman yang dapat dibudidayakan khusus sebagai bahan baku energi.

  • Limbah Pertanian: Jerami padi, tongkol jagung, bagasse (ampas tebu), pelepah dan tandan kosong kelapa sawit, sisa panen sayuran dan buah-buahan. Meskipun beberapa di antaranya lebih cocok untuk pembakaran langsung (PLTBm), namun dengan pra-perlakuan tertentu (seperti pencacahan dan pencampuran dengan limbah lain), mereka juga dapat diolah dalam biodigester, terutama sisa tanaman yang lebih lunak atau yang mudah dicerna.
  • Limbah Industri Agro: Palm Oil Mill Effluent (POME) dari pabrik kelapa sawit adalah salah satu limbah cair organik dengan potensi biogas sangat tinggi. Limbah dari pabrik tahu, tapioka, dan industri makanan/minuman lainnya juga merupakan bahan baku yang sangat baik.
  • Tanaman Energi (Energy Crops): Tanaman seperti sorgum, singkong, atau jenis rumput tertentu dapat ditanam secara khusus untuk biomassa. Setelah dipanen, biomassa ini dicacah dan difermentasi di biodigester. Ini adalah pendekatan yang terencana untuk memastikan pasokan bahan baku yang stabil.

Potensi di Indonesia: Potensi dari limbah pertanian dan industri agro sangat besar dan tersebar di seluruh wilayah pertanian dan perkebunan.

POME dari industri kelapa sawit saja sudah memiliki potensi biogas yang signifikan untuk menghasilkan ribuan megawatt listrik.

Pengembangan PLTBg berbasis tanaman energi juga menawarkan jalur pasokan bahan baku yang terjamin, meskipun perlu manajemen lahan yang hati-hati agar tidak bersaing dengan produksi pangan.

Kombinasi berbagai bahan baku ini, sering disebut sebagai co-digestion, dapat mengoptimalkan produksi biogas karena dapat menyeimbangkan rasio C/N (karbon/nitrogen) dan menyediakan nutrisi yang beragam untuk mikroorganisme.

Misalnya, mencampur limbah tanaman pangan dengan kotoran sapi dapat meningkatkan efisiensi digester dan produksi biogas. Pengalaman saya di Thailand menunjukkan bahwa optimalisasi jenis dan rasio bahan baku adalah kunci keberhasilan operasi PLTBg yang efisien dan berkelanjutan.

Apa Saja Komponen Pembangkit Listrik Tenaga Biogas?

Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) adalah sistem terintegrasi yang dirancang untuk mengolah limbah organik menjadi biogas, memurnikannya, dan kemudian membakar biogas tersebut untuk menghasilkan listrik.

Komponen-komponen utamanya bekerja secara berurutan untuk mencapai tujuan ini:

1. Sistem Penanganan Bahan Baku (Feedstock Handling System)

Ini adalah bagian awal di mana bahan baku organik (kotoran ternak, sampah makanan, limbah pertanian/industri) disiapkan sebelum masuk ke digester. Komponennya bisa meliputi:

  • Area Penampungan (Receiving Pit/Tank): Untuk menampung bahan baku mentah.
  • Peralatan Pra-perlakuan (Pre-treatment Equipment): Seperti shredder (pencacah) untuk mengurangi ukuran partikel, mixer untuk homogenisasi, atau silo penyimpanan untuk menjaga ketersediaan bahan baku.
  • Pompa dan Saluran Pipa: Untuk memindahkan bahan baku (terutama yang cair atau semi-cair) ke digester.

2. Digester Anaerobik (Anaerobic Digester)

Ini adalah jantung dari sistem PLTBg, di mana proses pembentukan biogas terjadi.

Digester adalah tangki tertutup rapat yang menciptakan lingkungan anaerobik (tanpa oksigen) yang optimal untuk aktivitas mikroorganisme. Desainnya bervariasi:

  • Digester Volume Tunggal/Batch: Seluruh bahan baku dimasukkan sekaligus dan dibiarkan berfermentasi.
  • Digester Aliran Kontinu (Continuous Flow Digester): Bahan baku dimasukkan dan dikeluarkan secara terus-menerus atau semi-kontinu, memungkinkan produksi biogas yang stabil.
  • Jenis Digester Lain: Misalnya, fixed-dome, floating-drum, CSTR (Continuous Stirred Tank Reactor), UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket).

Digester biasanya dilengkapi dengan sistem pengaduk (agitator) untuk memastikan kontak yang baik antara bakteri dan bahan baku, serta sistem pemanas (heater) untuk menjaga suhu optimal (mesofilik atau termofilik).

3. Sistem Pengumpul Biogas (Biogas Collection System)

Gas yang dihasilkan di dalam digester dikumpulkan di bagian atas digester atau di dalam penampung gas terpisah (gas holder). Sistem ini memastikan biogas tidak bocor dan dapat disalurkan ke tahap pemurnian.

4. Sistem Pemurnian Biogas (Biogas Upgrading/Purification System)

Biogas mentah yang keluar dari digester biasanya mengandung kontaminan seperti hidrogen sulfida (H₂S), uap air, dan karbon dioksida (CO₂).

Kontaminan ini perlu dihilangkan, terutama H₂S yang korosif dan CO₂ yang mengurangi nilai kalor, agar biogas aman dan efisien untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin generator. Proses pemurnian bisa meliputi:

  • Desulfurisasi: Menghilangkan H₂S menggunakan metode biologis, kimia, atau fisik.
  • Dehumidifikasi: Menghilangkan uap air (pengeringan).
  • Penghilangan CO₂ (Upgrading): Untuk menghasilkan biometana (gas alam terbarukan) yang dapat disalurkan ke jaringan gas atau digunakan sebagai bahan bakar kendaraan. Metode ini opsional untuk pembangkit listrik di lokasi.

5. Sistem Pembangkitan Listrik (Power Generation System)

Ini adalah bagian yang mengubah biogas menjadi listrik. Komponen utamanya adalah:

  • Mesin Genset Biogas (Biogas Engine Generator): Mesin pembakaran internal (mirip genset diesel/gas) yang dirancang khusus untuk membakar biogas. Mesin ini menggerakkan generator listrik.
  • Generator Listrik: Mengubah energi mekanik dari mesin genset menjadi energi listrik.
  • Panel Kontrol dan Koneksi Jaringan: Untuk mengontrol output listrik dan menghubungkannya ke jaringan listrik internal atau eksternal.

6. Sistem Penanganan Digestate (Digestate Management System)

Digestate adalah residu yang tersisa setelah proses pencernaan anaerobik. Ini adalah pupuk organik yang kaya nutrisi. Sistem ini meliputi:

  • Tangki Penampungan Digestate: Untuk menyimpan digestate sebelum digunakan.
  • Peralatan Separasi (Padat/Cair): Untuk memisahkan fraksi padat dan cair, jika diinginkan.
  • Sistem Distribusi: Untuk menyalurkan digestate sebagai pupuk ke lahan pertanian.

7. Sistem Kontrol dan Otomasi (Control and Automation System)

Sistem terpusat yang memantau dan mengontrol semua parameter operasional PLTBg, dari suhu digester, pH, tekanan gas, hingga output listrik, memastikan efisiensi dan keamanan operasional.

Komponen-komponen ini, terutama digester dan sistem pemurnian, adalah area yang membutuhkan desain dan pemeliharaan khusus.

Dalam observasi saya di Thailand, kesesuaian antara jenis bahan baku dan desain digester, serta efektivitas sistem pemurnian gas, sangat krusial untuk keberhasilan operasional PLTBg.

Bagaimana Cara Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Biogas?

Proses konversi limbah organik menjadi energi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) melibatkan serangkaian tahapan yang terintegrasi, dimulai dari penerimaan bahan baku hingga penyaluran listrik. Berikut adalah cara kerja PLTBg secara berurutan:

1. Penyiapan dan Pengumpanan Bahan Baku

Tahap awal adalah pengumpulan dan penyiapan bahan baku organik (substrat) seperti kotoran ternak, sampah makanan, atau limbah pertanian/industri.

Bahan baku ini seringkali perlu melalui pra-perlakuan untuk mengoptimalkan proses di digester. Pra-perlakuan bisa berupa:

  • Pencacahan (Shredding/Grinding): Mengurangi ukuran partikel bahan baku agar lebih mudah didekomposisi oleh bakteri dan mencegah penyumbatan.
  • Pencampuran (Mixing/Dilution): Jika bahan baku terlalu padat atau terlalu encer, mungkin perlu dicampur dengan air atau bahan baku lain (co-digestion) untuk mencapai konsistensi dan rasio C/N yang optimal.
  • Pemanasan Awal (Pre-heating): Terkadang, bahan baku dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat proses fermentasi di digester, terutama dalam kondisi iklim yang lebih dingin.

Setelah disiapkan, bahan baku diumpankan secara teratur ke dalam digester anaerobik melalui sistem pompa atau konveyor.

2. Proses Pencernaan Anaerobik di Digester

Di dalam digester, bahan baku organik mengalami proses dekomposisi oleh berbagai kelompok mikroorganisme dalam lingkungan yang sepenuhnya bebas oksigen (anaerobik).

Proses ini berlangsung melalui empat tahapan utama (hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis) yang telah dijelaskan sebelumnya.

  • Kontrol Kondisi: Suhu (biasanya mesofilik, 30-40°C, atau termofilik, 50-60°C) dan pH (sekitar netral) di dalam digester dijaga agar tetap optimal untuk aktivitas bakteri. Sistem pengaduk internal memastikan bahan baku tercampur rata dan kontak dengan bakteri.
  • Produksi Biogas: Selama proses ini, mikroorganisme secara bertahap mengkonversi bahan organik kompleks menjadi gas, terutama metana (CH₄) dan karbon dioksida (CO₂). Biogas ini akan terkumpul di ruang atas digester atau di penampung gas terpisah.

Lama waktu bahan baku berada di dalam digester (waktu retensi hidrolik/HRT) bervariasi tergantung jenis bahan baku dan desain digester, bisa dari beberapa hari hingga beberapa minggu.

3. Pemurnian Biogas

Biogas mentah yang baru dihasilkan dari digester mengandung kontaminan seperti hidrogen sulfida (H₂S), uap air, dan kadang-kadang amonia atau siloksan.

Kontaminan ini perlu dihilangkan sebelum biogas digunakan untuk pembangkit listrik karena dapat menyebabkan korosi pada mesin, mengurangi efisiensi pembakaran, dan menghasilkan emisi berbahaya. Proses pemurnian meliputi:

  • Penghilangan H₂S (Desulfurisasi): Metode umum meliputi filter besi oksida atau pencucian biologis.
  • Pengeringan (Dehumidifikasi): Menghilangkan uap air untuk mencegah kondensasi dan korosi.
  • Penghilangan CO₂ (Opsional): Jika diinginkan, CO₂ juga dapat dipisahkan untuk menghasilkan biometana dengan kemurnian tinggi yang setara dengan gas alam.

Biogas yang sudah dimurnikan kemudian siap disalurkan ke mesin pembangkit listrik.

4. Pembangkitan Listrik

Biogas yang sudah bersih dialirkan ke mesin genset biogas (biogas engine generator). Mesin ini adalah mesin pembakaran internal yang dirancang khusus untuk membakar biogas. Proses pembakaran biogas di dalam mesin menghasilkan energi mekanik putar.

Energi mekanik putar dari mesin kemudian digunakan untuk menggerakkan generator listrik yang terhubung dengannya. Generator ini mengubah energi mekanik menjadi energi listrik (AC).

Panas sisa dari mesin (misalnya dari knalpot atau sistem pendingin) seringkali dapat dimanfaatkan kembali (misalnya untuk memanaskan digester atau untuk aplikasi lain) dalam konsep kogenerasi (CHP - Combined Heat and Power) untuk meningkatkan efisiensi total sistem.

5. Penyaluran Listrik dan Pemanfaatan Digestate

Listrik yang dihasilkan oleh generator kemudian dialirkan melalui panel kontrol dan sistem koneksi ke jaringan listrik. Ini bisa berupa jaringan internal untuk memenuhi kebutuhan listrik fasilitas sendiri, atau disalurkan ke jaringan listrik PLN untuk dijual.

Di sisi lain, residu padat dan cair yang tersisa di dalam digester setelah proses fermentasi disebut digestate. Digestate ini adalah pupuk organik berkualitas tinggi yang kaya nutrisi.

Ia dikeluarkan dari digester dan dapat digunakan langsung sebagai pupuk cair di lahan pertanian, atau dipisahkan menjadi fraksi padat dan cair untuk aplikasi pupuk yang berbeda.

Seluruh proses ini diatur dan dipantau oleh sistem kontrol dan otomasi untuk memastikan operasi yang stabil, efisien, dan aman.

Pengalaman saya mengamati PLTBg di Thailand menunjukkan pentingnya pemantauan rutin dan penyesuaian parameter untuk memaksimalkan produksi biogas dan efisiensi pembangkitan listrik.

Kelebihan dan Kekurangan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa

Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) adalah dua teknologi energi terbarukan yang sama-sama memanfaatkan bahan organik.

Namun, keduanya memiliki prinsip kerja, bahan baku optimal, dan karakteristik operasional yang berbeda, yang memengaruhi dampak lingkungan, biaya investasi, dan biaya operasionalnya.

A. Aspek Dampak Lingkungan

Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg):

  • Kelebihan:
    • Mitigasi Metana: Mengubah metana (GRK kuat) menjadi CO2 (GRK lebih lemah) melalui pembakaran terkontrol. Mengurangi emisi metana yang seharusnya terlepas dari limbah.
    • Pengelolaan Limbah Basah: Sangat efektif untuk mengolah limbah organik basah seperti kotoran ternak, limbah makanan, dan limbah cair industri.
    • Mengurangi Bau dan Penyakit: Proses dalam digester tertutup menghilangkan bau busuk dan mengurangi penyebaran patogen dari limbah.
    • Menghasilkan Pupuk Organik: Digestate sebagai produk sampingan adalah pupuk alami yang mengurangi kebutuhan pupuk kimia.
    • Emisi Udara Bersih: Pembakaran biogas yang terkontrol cenderung menghasilkan emisi partikulat, SOx, dan NOx yang lebih rendah dibandingkan pembakaran biomassa padat, terutama jika biogas dimurnikan dengan baik.
  • Kekurangan:
    • Emisi CO2: Meskipun dianggap netral karbon dalam siklus hidup, pembakaran biogas tetap melepaskan CO2.
    • Kebutuhan Air: Memerlukan air dalam proses pencernaan anaerobik.
    • Manajemen H2S: Biogas mungkin mengandung H2S yang korosif dan berbahaya jika tidak dihilangkan.

Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm):

  • Kelebihan:
    • Netral Karbon (Teoritis): CO2 yang dilepaskan diserap kembali oleh pertumbuhan biomassa baru (sama seperti biogas).
    • Mengurangi Sampah Padat: Efektif untuk mengolah biomassa padat seperti limbah pertanian kering, sisa kayu, atau tanaman energi.
    • Skala Ekonomi: Dapat dibangun dalam skala sangat besar (ratusan MW) menggunakan teknologi pembakaran langsung, mirip dengan PLTU batubara.
  • Kekurangan:
    • Emisi Partikulat dan NOx: Pembakaran biomassa padat cenderung menghasilkan lebih banyak partikulat dan NOx dibandingkan biogas, memerlukan sistem pengendalian emisi yang lebih canggih dan mahal.
    • Kebutuhan Lahan: Jika bergantung pada tanaman energi, ada potensi persaingan penggunaan lahan dengan produksi pangan.
    • Dampak Lingkungan pada Pemanenan/Transportasi: Pengumpulan dan transportasi biomassa padat dalam jumlah besar dapat memiliki jejak karbon dan dampak lingkungan.
    • Pengelolaan Abu: Menghasilkan abu yang perlu ditangani, meskipun seringkali dapat dimanfaatkan.

B. Aspek Biaya Investasi

Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg):

  • Kelebihan: Untuk skala kecil hingga menengah (beberapa kW hingga beberapa MW), PLTBg mungkin memiliki biaya investasi per kW yang lebih rendah dibandingkan PLTBm besar. Modularitasnya memungkinkan investasi bertahap.
  • Kekurangan: Biaya investasi bisa menjadi signifikan untuk fasilitas skala industri yang kompleks, terutama jika melibatkan pra-perlakuan bahan baku yang intensif dan sistem pemurnian biogas yang canggih.

Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm):

  • Kelebihan: Teknologi pembakaran langsung sudah mapan, memungkinkan skala ekonomi untuk proyek besar.
  • Kekurangan: Biaya investasi awal yang tinggi, terutama untuk pembangunan boiler biomassa berskala besar yang harus tahan terhadap karakteristik pembakaran biomassa yang kompleks (misalnya fouling, slagging) dan sistem pengendalian emisi yang canggih.

C. Aspek Biaya Operasional

Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg):

  • Kelebihan:
    • Biaya Bahan Bakar Rendah/Negatif: Bahan baku seringkali berupa limbah yang tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan mungkin ada tipping fee (biaya pengelolaan limbah) yang dibayarkan ke PLTBg.
    • Biaya Pemeliharaan Mesin Genset: Relatif standar dan dapat diprediksi untuk mesin genset.
    • Produk Samping Bernilai: Penjualan pupuk organik (digestate) dapat menjadi sumber pendapatan tambahan, mengurangi biaya operasional bersih.
  • Kekurangan:
    • Pra-perlakuan dan Manajemen Substrat: Biaya operasional untuk pengumpulan, pra-perlakuan (pencacahan, pengenceran), dan pengumpanan bahan baku bisa signifikan, terutama untuk limbah yang heterogen.
    • Pemurnian Biogas: Biaya operasional dan pemeliharaan sistem pemurnian biogas (desulfurisasi, dehumidifikasi) dapat menjadi substansial.
    • Sensitivitas Proses: Proses biologi di digester sensitif terhadap perubahan bahan baku dan kondisi, memerlukan pemantauan dan kontrol yang cermat.

Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm):

  • Kelebihan:
    • Pasokan Bahan Bakar Lokal: Sumber bahan bakar seringkali lokal, mengurangi risiko fluktuasi harga global.
  • Kekurangan:
    • Biaya Logistik Bahan Bakar: Biaya pengumpulan, pengeringan, dan transportasi biomassa padat (yang bervolume besar dan rendah densitasnya) bisa sangat tinggi.
    • Biaya Pemeliharaan Boiler: Boiler biomassa mungkin memerlukan pemeliharaan lebih sering karena karakteristik abu.
    • Ketersediaan Bahan Bakar: Fluktuasi musiman dalam ketersediaan biomassa dapat mempengaruhi biaya operasional dan keandalan pasokan.

Singkatnya, PLTBg unggul dalam pengelolaan limbah basah, mitigasi metana, dan produksi pupuk organik, dengan emisi udara yang relatif lebih bersih. Namun, ia memiliki tantangan dalam biaya pemurnian gas dan sensitivitas proses biologi.

PLTBm cocok untuk biomassa padat, dapat dibangun dalam skala lebih besar, tetapi menghadapi tantangan logistik dan emisi udara dari pembakaran padat. Keduanya adalah pelengkap dalam portofolio energi terbarukan.

Kesimpulan

Pembangkit Listrik Energi Biogas (PLTBg) adalah teknologi kunci dalam upaya Indonesia untuk mencapai ketahanan energi dan pengelolaan limbah yang berkelanjutan.

Proses pembentukan biogas, melalui pencernaan anaerobik bahan organik, secara efisien mengubah limbah menjadi campuran gas yang kaya metana, sebuah gas rumah kaca yang sangat kuat jika terlepas langsung ke atmosfer.

Pemanfaatan gas metana ini untuk pembangkitan listrik jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan membiarkannya terlepas secara langsung.

Pembakaran metana mengonversinya menjadi karbon dioksida, yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih rendah, sekaligus mengurangi emisi polutan lokal dan memanfaatkan sumber daya terbarukan.

Hal ini adalah contoh nyata bagaimana teknologi dapat mengubah masalah lingkungan menjadi solusi energi.

Indonesia memiliki potensi bahan baku biogas yang melimpah. Sistem septic tank limbah domestik, meskipun menantang dalam skala individual, menunjukkan potensi besar untuk aplikasi komunal. 

Dominasi sampah makanan dalam komposisi sampah perkotaan menjadikannya kandidat ideal untuk pengolahan biogas, karena sifatnya yang basah dan mudah terurai sangat cocok untuk biodigester, sekaligus mengatasi masalah volume sampah dan bau.

Selain itu, kotoran sapi (manure) dan berbagai jenis tanaman organik serta limbah industri agro lainnya (seperti POME) juga menawarkan potensi energi biogas yang sangat besar dan belum sepenuhnya tergali.

Cara kerja PLTBg melibatkan sistem terintegrasi yang dimulai dari penyiapan bahan baku, proses pencernaan anaerobik di digester, pemurnian biogas dari kontaminan seperti H₂S, pembakaran biogas dalam mesin genset untuk menghasilkan listrik, dan pemanfaatan digestate sebagai pupuk organik. 

Setiap komponen dalam rantai ini, dari sistem penanganan bahan baku hingga sistem pembangkitan listrik dan pengelolaan digestate, bekerja bersama untuk memaksimalkan efisiensi dan manfaat lingkungan.

Dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), PLTBg memiliki keunggulan signifikan dalam mengelola limbah basah, mitigasi metana secara langsung, dan menghasilkan pupuk organik bernilai tinggi, dengan emisi udara yang cenderung lebih bersih.

Namun, PLTBg memiliki tantangan dalam biaya investasi awal yang signifikan untuk sistem pemurnian gas dan sensitivitas proses biologi. PLTBm di sisi lain, lebih cocok untuk biomassa padat dan dapat dibangun dalam skala yang lebih besar, tetapi menghadapi tantangan logistik bahan bakar dan emisi partikulat dari pembakaran.

Sebagai seorang insinyur yang telah mengamati langsung teknologi PLTBg dari sisa cacahan tanaman pangan di Thailand, saya melihat bahwa investasi pada teknologi ini sangat krusial bagi Indonesia. Dengan potensi sumber daya yang begitu besar, pengembangan PLTBg secara masif dapat menjadi pilar utama dalam:

  • Mengurangi Dampak Perubahan Iklim: Menurunkan emisi metana dari limbah.
  • Mengatasi Krisis Sampah: Mengurangi volume dan dampak limbah organik.
  • Meningkatkan Ketahanan Energi: Menyediakan sumber listrik terbarukan yang stabil.
  • Mendukung Ekonomi Sirkular: Mengubah limbah menjadi energi dan pupuk.

Dengan demikian, PLTBg bukan hanya tentang energi, melainkan solusi multifaset yang mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Tentang Penulis

Ardhy Yuliawan Norma Sakti

Ardhy merupakan founder dari platform Cara Kerja Teknologi. Ardhy menempuh pendidikan S1 Teknik Industri di Universitas Sebelas Maret (UNS) Indonesia dan pendidikan S2 bidang Engineering Technology di SIIT, Thammasat University Thailand. Ardhy memiliki pengalaman kerja selama 4 tahun sebagai staf Insinyur di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) hingga bulan September tahun 2021. Kemudian pada tahun yang sama, Ardhy dipindah tugaskan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hingga sekarang.

Portofolio Penulis: Google Scholar | ORCID | SINTA | Scopus

Komentar