Cara Kerja Penyimpanan Energi Listrik dengan PLTA Pumped Hydro Storage

Cara Menyimpan Kelebihan Energi Listrik dengan PLTA Pompa Air (Pumped-Hydro Storage)

Penulis: Ardhy Yuliawan Norma Sakti

Founder Cara Kerja Teknologi, Alumni Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) & Engineering Technology SIIT Thammasat University, dengan pengalaman 4 tahun di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan saat ini di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

penyimpanan-energi-listrik-pumped-hydro-storage
cara kerja penyimpanan energi listrik pumped hydro storage

Kebutuhan energi listrik di Indonesia terus meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi.

Namun, pasokan listrik seringkali tidak sejalan dengan pola konsumsi yang berfluktuasi, menciptakan tantangan serius dalam menjaga stabilitas dan efisiensi sistem tenaga listrik nasional.

Salah satu fenomena yang kian menjadi perhatian adalah surplus pasokan energi listrik di waktu-waktu tertentu, terutama di siang hari, dan lonjakan permintaan di malam hari. Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, teknologi penyimpanan energi menjadi sangat krusial.

Di antara berbagai solusi penyimpanan energi, Penyimpanan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped-Hydro Storage/PHS), atau yang juga dikenal sebagai PLTA Pompa, menonjol sebagai salah satu metode paling matang, berskala besar, dan teruji.

Pumped-hydro storage bekerja dengan memanfaatkan perbedaan ketinggian air antara dua reservoir untuk menyimpan dan melepaskan energi listrik.

Ketika ada kelebihan listrik (misalnya di siang hari saat produksi tinggi dari pembangkit surya dan permintaan rendah), listrik tersebut digunakan untuk memompa air dari reservoir bawah ke reservoir atas.

Kemudian, ketika permintaan listrik melonjak (misalnya di malam hari), air dari reservoir atas dilepaskan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik kembali.

Konsep ini sederhana namun sangat efektif dalam menyeimbangkan pasokan dan permintaan listrik, serta mendukung integrasi sumber energi terbarukan yang intermiten.

Artikel ini akan mengupas tuntas "Cara Menyimpan Kelebihan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped-Hydro Storage)", mulai dari pemahaman tentang surplus pasokan listrik dan fluktuasi beban di Indonesia, potensi bendungan sebagai fasilitas PHS, karakteristik bendungan yang ideal, komponen utama PHS, mekanisme kerjanya secara detail, hingga analisis perbandingan kelebihan dan kekurangannya dari aspek lingkungan, biaya investasi, dan biaya operasional dibandingkan dengan teknologi baterai.

Informasi ini disajikan dari perspektif seorang insinyur yang telah mengamati langsung teknologi penyimpanan energi listrik pompa air di Thailand.

Daftar Isi


Apa Itu Surplus Pasokan Energi Listrik?

Dalam sistem tenaga listrik, surplus pasokan energi listrik terjadi ketika kapasitas pembangkitan listrik melebihi jumlah permintaan (beban) listrik dari konsumen pada suatu waktu tertentu.

Fenomena ini bukanlah hal yang aneh dalam operasi jaringan listrik, namun seiring dengan pergeseran ke sumber energi terbarukan yang intermiten (seperti surya dan angin), frekuensi dan besaran surplus ini cenderung meningkat.

Surplus pasokan, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan ketidakstabilan jaringan, pemborosan energi, bahkan pemadaman sistem (grid instability and blackouts).

Keseimbangan Pasokan dan Permintaan

Sistem tenaga listrik modern beroperasi dengan prinsip keseimbangan dinamis antara pasokan (produksi) dan permintaan (konsumsi).

Pembangkit listrik harus terus-menerus menyesuaikan output mereka agar sesuai dengan fluktuasi beban listrik dari detik ke detik. Ketika pasokan lebih besar dari permintaan, frekuensi jaringan akan meningkat, dan jika tidak dikoreksi, dapat merusak peralatan listrik.

Penyebab Surplus Pasokan

  • Produksi Berlebih dari Pembangkit Dasar (Baseload Plants): Pembangkit listrik skala besar seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) batubara atau PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) seringkali dioperasikan pada kapasitas tinggi secara konstan karena efisiensi optimal mereka pada beban penuh dan biaya startup/shutdown yang tinggi. Jika pada jam-jam tertentu permintaan listrik rendah, output dari pembangkit-pembangkit ini bisa menjadi surplus.
  • Pembangkit Energi Terbarukan Intermiten: Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB) bergantung pada kondisi cuaca. Pada siang hari yang cerah dan berangin kencang, produksi listrik dari PLTS dan PLTB bisa sangat tinggi. Jika pada saat itu permintaan listrik sedang rendah, maka terjadilah surplus. Contoh nyata adalah di beberapa negara maju yang sudah masif mengintegrasikan PLTS, seringkali terjadi "duck curve" di mana produksi surya membanjiri jaringan di siang hari, menciptakan surplus.
  • Jam Rendah Beban: Pada dini hari atau akhir pekan, ketika aktivitas industri dan perkantoran menurun drastis, permintaan listrik secara keseluruhan akan rendah, sehingga menyebabkan surplus dari pembangkit yang masih beroperasi.

Konsekuensi Surplus yang Tidak Dikelola

Tanpa mekanisme penanganan surplus yang efektif, operator jaringan listrik (grid operator) terpaksa melakukan:

  • Pelepasan Beban (Load Shedding): Mematikan sebagian produksi pembangkit listrik (disebut juga curtailment untuk energi terbarukan). Ini berarti energi yang bisa dihasilkan terbuang percuma.
  • Penurunan Frekuensi: Frekuensi jaringan akan naik, yang dapat merusak peralatan dan menyebabkan pemadaman.

Oleh karena itu, kemampuan untuk menyimpan energi surplus ini menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas jaringan, mengoptimalkan penggunaan aset pembangkit, dan memaksimalkan integrasi energi terbarukan.

Mengapa Kebutuhan Listrik Indonesia Lebih Besar pada Malam Hari Daripada Siang Hari?

Pola konsumsi listrik di Indonesia menunjukkan karakteristik yang menarik, di mana beban puncak (permintaan tertinggi) umumnya terjadi pada malam hari, berbeda dengan sebagian negara yang mungkin mengalami puncak di siang hari karena aktivitas industri atau pendingin udara yang intens. Fenomena ini didorong oleh beberapa faktor utama:

1. Pola Hidup dan Aktivitas Masyarakat

  • Aktivitas Rumah Tangga Malam Hari: Pada malam hari, terutama setelah jam kerja dan sekolah, aktivitas rumah tangga meningkat drastis. Penerangan rumah, penggunaan televisi, pendingin ruangan (AC) saat istirahat, pengisian daya gawai elektronik, dan penggunaan peralatan dapur (misalnya untuk makan malam) semuanya secara bersamaan meningkatkan permintaan listrik.
  • Penerangan Publik: Lampu jalan, lampu di gedung-gedung komersial, dan penerangan area publik mulai dinyalakan pada malam hari, menambah beban signifikan pada jaringan.
  • Pusat Hiburan dan Perdagangan: Mal, restoran, dan tempat hiburan yang beroperasi hingga malam hari juga menyumbang beban listrik yang besar untuk penerangan, pendingin, dan operasional lainnya.

2. Kontribusi Industri yang Lebih Rendah di Siang Hari

Meskipun aktivitas industri beroperasi di siang hari, sektor industri di Indonesia tidak seintensif atau sepadat di negara-negara industri maju yang mungkin memiliki beban puncak di siang hari karena penggunaan mesin-mesin berat.

Banyak industri di Indonesia yang memiliki pola operasi 24 jam, namun ada juga yang mengurangi aktivitas produksi di malam hari. Sementara itu, beban dari rumah tangga dan penerangan publik yang meningkat di malam hari menjadi lebih dominan.

3. Minimnya Pemanfaatan Energi Surya Skala Besar di Siang Hari (Saat Ini)

Berbeda dengan beberapa negara yang telah masif mengintegrasikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar di tingkat utilitas atau residensial, kontribusi PLTS di Indonesia saat ini masih relatif kecil dalam skala nasional.

Jika PLTS sudah banyak diintegrasikan, mereka bisa menekan beban puncak siang hari atau bahkan menciptakan surplus. Namun, saat ini, beban di siang hari tetap dipenuhi oleh pembangkit konvensional, dan puncaknya masih didominasi oleh aktivitas malam.

Kurva Beban Harian Khas Indonesia

Pola ini menciptakan kurva beban harian yang khas di Indonesia:

  • Beban Rendah: Dini hari hingga pagi (sekitar pukul 00:00 - 06:00 WIB).
  • Beban Menengah: Pagi hingga sore (sekitar pukul 06:00 - 17:00 WIB), dengan sedikit kenaikan saat aktivitas perkantoran dan komersial dimulai.
  • Beban Puncak (Peak Load): Malam hari (sekitar pukul 18:00 - 22:00 WIB), di mana permintaan listrik melonjak tajam.

Pola beban puncak malam hari ini menuntut sistem pembangkitan dan transmisi yang handal untuk memenuhi lonjakan permintaan mendadak.

Pembangkit yang bisa merespons cepat (seperti PLTG atau PHS) menjadi sangat berharga untuk menyeimbangkan pasokan pada jam-jam puncak ini.

Potensi Naiknya Beban Listrik Malam Hari Akibat Kendaraan Listrik

Transisi menuju era kendaraan listrik (EV) adalah langkah penting dalam upaya dekarbonisasi sektor transportasi. Pemerintah Indonesia secara aktif mendorong adopsi kendaraan listrik melalui berbagai insentif.

Namun, peningkatan jumlah kendaraan listrik akan membawa implikasi signifikan terhadap pola beban listrik, khususnya di malam hari, yang berpotensi memperburuk masalah beban puncak jika tidak diantisipasi dengan baik.

Pola Pengisian Daya Kendaraan Listrik

Mayoritas pemilik kendaraan listrik, baik itu mobil maupun sepeda motor listrik, cenderung akan melakukan pengisian daya (charging) di rumah pada malam hari. Alasannya sederhana:

  • Kenyamanan: Pengisian daya saat kendaraan tidak digunakan (misalnya, semalaman saat diparkir) adalah yang paling praktis.
  • Tarif Listrik: Di beberapa negara, tarif listrik di malam hari (off-peak hours) mungkin lebih murah, mendorong konsumen untuk mengisi daya di jam-jam tersebut. Meskipun belum dominan di Indonesia, tren ini bisa muncul.
  • Waktu Pengisian Lama: Pengisian daya penuh baterai EV bisa memakan waktu beberapa jam, sehingga malam hari adalah waktu yang ideal.

Dampak Terhadap Beban Puncak Malam Hari

Jika tren pengisian daya malam hari ini menjadi masif, maka akan terjadi penambahan beban listrik yang signifikan pada jam-jam puncak malam hari. Mengapa ini menjadi perhatian?

  • Perparah Beban Puncak: Jam puncak beban listrik di Indonesia saat ini sudah terjadi di malam hari (sekitar pukul 18:00 - 22:00 WIB). Penambahan beban dari ribuan, atau bahkan jutaan, EV yang mengisi daya secara bersamaan pada jam-jam tersebut akan semakin memperparah puncak ini.
  • Kapasitas Pembangkitan dan Jaringan: Sistem pembangkitan dan jaringan transmisi/distribusi harus memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung lonjakan beban ini. Jika tidak, bisa terjadi kekurangan pasokan, penurunan tegangan, atau bahkan pemadaman listrik di area tertentu.
  • Investasi Infrastruktur: Untuk mengakomodasi lonjakan ini, PLN mungkin perlu berinvestasi lebih besar pada pembangunan pembangkit peaker (pembangkit yang hanya beroperasi saat beban puncak) dan penguatan infrastruktur jaringan distribusi, terutama di area perumahan padat.

Solusi untuk Mengatasi Potensi Masalah

Untuk mengelola potensi lonjakan beban listrik akibat EV, beberapa strategi dapat diimplementasikan:

  • Smart Charging (Pengisian Daya Cerdas): Sistem yang memungkinkan utilitas listrik mengontrol atau menunda pengisian daya EV ke jam-jam di luar puncak, atau ke jam-jam dengan surplus listrik (misalnya siang hari jika ada banyak PLTS).
  • Time-of-Use (ToU) Tariffs: Pemberlakuan tarif listrik yang lebih murah pada jam-jam rendah beban (misalnya dini hari) untuk mendorong konsumen mengisi daya pada waktu tersebut.
  • Vehicle-to-Grid (V2G) Technology: Teknologi yang memungkinkan EV tidak hanya menarik listrik dari jaringan, tetapi juga menyalurkan listrik kembali ke jaringan saat dibutuhkan, mengubah EV menjadi aset penyimpanan energi bergerak.
  • Infrastruktur Penyimpanan Energi: Pembangunan fasilitas penyimpanan energi berskala besar seperti Pumped-Hydro Storage (PHS) menjadi semakin relevan. PHS dapat "menyerap" surplus listrik di siang hari (jika PLTS masif) atau dini hari, dan melepaskannya untuk memenuhi beban puncak malam hari, termasuk dari pengisian daya EV.

Antisipasi dan perencanaan yang matang diperlukan agar transisi ke kendaraan listrik dapat berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah serius pada sistem kelistrikan nasional.

Potensi Kelebihan Pasokan Siang Hari Akibat Masifnya PLTS Rooftop di Indonesia

Indonesia adalah negara tropis dengan potensi energi surya yang sangat besar. Rata-rata intensitas radiasi matahari harian mencapai 4,8 kWh/m²/hari. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), khususnya PLTS rooftop (atap), semakin gencar didorong sebagai bagian dari transisi energi. 

Namun, jika adopsi PLTS rooftop ini menjadi masif di seluruh rumah tangga dan bangunan komersial, Indonesia berpotensi menghadapi fenomena "surplus pasokan siang hari" yang mirip dengan yang dialami oleh negara-negara dengan penetrasi surya tinggi.

Fenomena "Duck Curve"

Konsep "Duck Curve" menggambarkan pola beban listrik harian yang berubah akibat penetrasi PLTS skala besar.

  • Pagi Hari: Beban mulai naik, PLTS mulai berproduksi.
  • Siang Hari: Produksi PLTS mencapai puncaknya. Jika pada saat ini permintaan listrik total dari konsumen rendah, maka produksi PLTS akan melebihi permintaan dari jaringan konvensional. Terjadi "perut" kurva beban yang melengkung ke bawah, menyerupai perut bebek yang rendah. Ini adalah periode surplus.
  • Sore Menjelang Malam: Saat matahari terbenam, produksi PLTS turun drastis, sementara permintaan listrik (terutama dari rumah tangga untuk penerangan dan aktivitas malam) melonjak tajam. Ini menciptakan "leher" kurva bebek yang curam, menuntut pembangkit konvensional untuk menaikkan output dengan sangat cepat.

Implikasi Surplus Pasokan Siang Hari di Indonesia

Jika PLTS rooftop menjadi masif di Indonesia, beberapa implikasi akan terjadi:

  • Potensi Curtailed Energy: Kelebihan listrik di siang hari dari PLTS yang tidak dapat diserap oleh jaringan atau disimpan akan terbuang sia-sia (curtailed). Ini adalah pemborosan investasi dan potensi energi terbarukan.
  • Ketidakstabilan Frekuensi Jaringan Lonjakan pasokan dari PLTS yang tidak diimbangi dengan permintaan atau penyimpanan dapat menyebabkan frekuensi jaringan berfluktuasi di luar batas aman.
  • Tekanan pada Pembangkit Konvensional: Pembangkit konvensional (misalnya PLTU) harus beroperasi pada beban minimum yang lebih rendah di siang hari (karena pasokan surya) dan kemudian menaikkan outputnya secara drastis saat matahari terbenam. Ini meningkatkan wear and tear, mengurangi efisiensi, dan mempercepat degradasi peralatan.
  • Tantangan Operasional Jaringan: Operator jaringan (PLN) akan menghadapi tantangan kompleks dalam mengelola pasokan dan permintaan yang sangat dinamis dan tidak terduga dari PLTS yang tersebar di seluruh jaringan.

Pentingnya Penyimpanan Energi untuk PLTS Masif

Dalam skenario PLTS rooftop yang masif, teknologi penyimpanan energi, khususnya berskala besar seperti Pumped-Hydro Storage (PHS), menjadi solusi yang sangat vital:

  • Menyerap Surplus Siang Hari: PHS dapat memanfaatkan kelebihan listrik dari PLTS di siang hari untuk memompa air ke reservoir atas, secara efektif "menyimpan" energi surya.
  • Memenuhi Beban Puncak Malam Hari: Energi yang disimpan ini kemudian dapat dilepaskan untuk menghasilkan listrik pada malam hari, saat produksi surya nol namun permintaan listrik tinggi (termasuk potensi pengisian EV).
  • Meningkatkan Stabilitas Jaringan: PHS dapat menyediakan layanan tambahan seperti pengaturan frekuensi dan cadangan berputar, sehingga meningkatkan keandalan dan stabilitas jaringan yang terpengaruh oleh intermitensi surya.
  • Mengoptimalkan Pemanfaatan PLTS: Dengan PHS, energi dari PLTS yang tadinya terbuang dapat dimanfaatkan sepenuhnya, meningkatkan nilai ekonomi dari investasi PLTS.

Oleh karena itu, perencanaan integrasi PLTS rooftop skala besar di Indonesia harus diiringi dengan pengembangan infrastruktur penyimpanan energi yang memadai, dan PHS adalah kandidat utama untuk peran ini.

Apa Masalah yang Ditimbulkan dari Surplus Pasokan Energi Listrik Siang Hari dan Tingginya Beban Listrik pada Malam Hari?

Ketidaksesuaian antara pola produksi listrik dan pola konsumsi menciptakan masalah yang kompleks dalam sistem tenaga listrik, yang dikenal sebagai masalah surplus di siang hari dan defisit/beban puncak di malam hari. Fenomena ini menghadirkan tantangan teknis, ekonomi, dan lingkungan.

Masalah dari Surplus Pasokan Siang Hari (Potensi Akibat PLTS Masif)

  1. Pemborosan Energi dan Investasi: Listrik yang diproduksi namun tidak dapat diserap oleh jaringan atau disimpan akan terbuang sia-sia (curtailed). Ini berarti investasi pada pembangkit (terutama PLTS) tidak dimanfaatkan secara optimal, dan energi terbarukan yang seharusnya mengurangi emisi justru tidak bisa dimaksimalkan.
  2. Ketidakstabilan Jaringan (Grid Instability): Lonjakan pasokan listrik yang tidak terduga dapat menyebabkan frekuensi dan tegangan jaringan berfluktuasi di luar batas toleransi. Ini bisa memicu pemadaman listrik (blackout) atau kerusakan pada peralatan listrik konsumen dan pembangkit.
  3. Tekanan Operasional pada Pembangkit Konvensional: Pembangkit listrik konvensional (misalnya PLTU batubara atau gas) harus mengurangi outputnya secara drastis di siang hari untuk mengakomodasi produksi surya, dan kemudian menaikkannya lagi di malam hari. Operasi ini yang disebut cycling menyebabkan wear and tear yang lebih cepat pada mesin, mengurangi efisiensi pembakaran, dan meningkatkan biaya pemeliharaan.
  4. Tidak Optimalnya Harga Listrik: Jika kelebihan pasokan terus-menerus terjadi, harga listrik di pasar dapat anjlok, bahkan menjadi negatif. Ini mengurangi insentif bagi investasi pembangkitan baru dan keberlanjutan operasi pembangkit yang ada.

Masalah dari Tingginya Beban Listrik pada Malam Hari

  1. Kebutuhan Pembangkit Cadangan/Peaker: Untuk memenuhi beban puncak yang tinggi di malam hari, sistem harus memiliki kapasitas pembangkitan cadangan (reserve capacity) yang cukup. Seringkali, pembangkit peaker (yang beroperasi cepat) seperti PLTG atau diesel harus diaktifkan. Pembangkit ini umumnya kurang efisien dan lebih mahal biaya operasionalnya per unit energi dibandingkan pembangkit dasar.
  2. Peningkatan Biaya Operasional Sistem: Untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan yang berfluktuasi, operator jaringan harus sering melakukan dispatch pembangkit, yang seringkali melibatkan pengaktifan pembangkit yang lebih mahal pada jam-jam puncak. Hal ini meningkatkan biaya operasional keseluruhan sistem.
  3. Risiko Pemadaman Listrik: Jika kapasitas pembangkitan tidak cukup untuk memenuhi lonjakan beban, atau terjadi gangguan mendadak pada pembangkit besar di jam puncak, risiko pemadaman listrik (blackout) meningkat secara signifikan.
  4. Investasi Mahal pada Infrastruktur Transmisi dan Distribusi: Jaringan transmisi dan distribusi harus dirancang untuk menahan beban puncak tertinggi. Ini berarti kabel, transformator, dan peralatan lainnya harus berukuran lebih besar, yang membutuhkan investasi kapital yang sangat besar, meskipun kapasitas penuhnya hanya digunakan beberapa jam sehari.
  5. Kualitas Daya Menurun: Beban puncak yang tinggi dapat menyebabkan penurunan tegangan (voltage drop) di beberapa area, yang memengaruhi kualitas daya dan kinerja peralatan elektronik.

Pentingnya Solusi Penyimpanan Energi

Kedua masalah ini, surplus di siang hari dan beban puncak di malam hari, saling berkaitan dan memperburuk satu sama lain. Solusi penyimpanan energi seperti Pumped-Hydro Storage (PHS) menjadi sangat penting karena dapat:

  • Menyerap Surplus: Menggunakan kelebihan listrik di siang hari (yang jika tidak disimpan akan terbuang) untuk mengisi kapasitas penyimpanan.
  • Memenuhi Puncak: Melepaskan energi yang disimpan saat beban puncak di malam hari, mengurangi kebutuhan akan pembangkit peaker yang mahal dan kurang efisien.
  • Menstabilkan Jaringan: Menyediakan layanan keseimbangan dan pengaturan frekuensi, meningkatkan keandalan dan kualitas daya sistem secara keseluruhan.

Dengan demikian, penyimpanan energi adalah jembatan vital yang menghubungkan pasokan dan permintaan listrik yang tidak sinkron, memungkinkan sistem energi yang lebih efisien, stabil, dan berkelanjutan.

Seberapa Besar Potensi Bendungan di Indonesia untuk Menyimpan Surplus Energi Listrik?

Indonesia, dengan topografi yang beragam, curah hujan yang tinggi, dan ribuan sungai, memiliki potensi hidropower yang sangat besar.

Sebagian dari potensi ini juga dapat dimanfaatkan untuk teknologi Penyimpanan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped-Hydro Storage/PHS).

Meskipun jumlah bendungan yang secara spesifik dirancang untuk PHS masih terbatas, banyak bendungan eksisting atau lokasi bendungan potensial dapat dipertimbangkan untuk dimodifikasi atau dikembangkan sebagai fasilitas PHS.

Potensi Hidropower Indonesia

Indonesia memiliki potensi hidropower teoritis yang diperkirakan mencapai lebih dari 75 GW (Giga Watt). Dari jumlah ini, yang sudah dimanfaatkan masih kurang dari 10 GW. Artinya, masih ada potensi besar yang belum tergali, dan sebagian dari potensi ini dapat dialokasikan untuk PHS.

Karakteristik Topografi yang Mendukung

PHS membutuhkan dua reservoir dengan perbedaan ketinggian yang signifikan (head) dan jarak yang tidak terlalu jauh.

Topografi Indonesia yang berbukit-bukit dan pegunungan, terutama di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, sangat ideal untuk menemukan lokasi-lokasi potensial dengan perbedaan elevasi yang dibutuhkan.

Banyak bendungan eksisting yang awalnya dibangun untuk irigasi atau PLTA konvensional memiliki kondisi geografi yang memungkinkan untuk penambahan fungsi PHS.

Contoh dan Studi Potensi

Beberapa studi dan rencana pembangunan telah mengidentifikasi potensi PHS di Indonesia:

  • PLTA Upper Cisokan Pumped Storage (UCPS): Proyek ini adalah salah satu contoh nyata dan merupakan proyek PHS pertama dan terbesar di Indonesia yang sedang dalam tahap konstruksi. Terletak di Jawa Barat, PLTA UCPS dirancang untuk memiliki kapasitas 1.040 MW, memanfaatkan dua reservoir dengan perbedaan ketinggian yang besar. Proyek ini akan sangat vital dalam menstabilkan sistem kelistrikan Jawa-Bali, terutama untuk menyeimbangkan beban puncak malam hari dan menyerap kelebihan pasokan dari PLTS di masa depan.
  • Studi Potensi Lain: Berbagai studi kelayakan telah dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi potensial PHS lainnya di Indonesia. Potensi ini tersebar di berbagai wilayah dengan kondisi topografi yang mendukung, namun memerlukan analisis geologi, hidrologi, dan lingkungan yang mendalam.

Tantangan Pemanfaatan Potensi

Meskipun potensinya besar, ada beberapa tantangan dalam mengembangkan PHS di Indonesia:

  • Biaya Investasi Tinggi: Pembangunan PHS memerlukan investasi kapital yang sangat besar, terutama untuk konstruksi reservoir, terowongan air, dan stasiun pembangkit.
  • Waktu Konstruksi Panjang: Proyek PHS adalah proyek infrastruktur skala besar yang membutuhkan waktu konstruksi bertahun-tahun.
  • Dampak Lingkungan dan Sosial: Pembangunan bendungan dan reservoir baru dapat menimbulkan dampak lingkungan (perubahan ekosistem air, habitat) dan sosial (pemindahan penduduk) yang signifikan, sehingga memerlukan kajian AMDAL yang komprehensif dan partisipasi masyarakat.
  • Analisis Geologi: Memastikan stabilitas geologi lokasi sangat penting untuk proyek PHS skala besar.

Namun, mengingat kebutuhan akan penyimpanan energi berskala besar yang handal untuk mendukung energi terbarukan dan menjaga stabilitas jaringan, investasi pada PHS sangat strategis bagi masa depan energi Indonesia.

Potensi bendungan di Indonesia, baik yang eksisting maupun yang baru, merupakan aset penting untuk mewujudkan hal tersebut.

Bagaimana Karakteristik Bendungan yang Baik sebagai Penyimpanan Energi Listrik?

Tidak semua bendungan atau lokasi reservoir cocok untuk dijadikan fasilitas Pumped-Hydro Storage (PHS). Ada beberapa karakteristik kunci yang membuat sebuah bendungan atau lokasi ideal sebagai sistem penyimpanan energi listrik dengan pompa air. Karakteristik ini mencakup aspek geografis, hidrologis, geologis, dan juga operasional.

1. Perbedaan Ketinggian (Head) yang Signifikan

Ini adalah faktor terpenting. PHS membutuhkan dua reservoir (atas dan bawah) dengan perbedaan ketinggian vertikal (gross head) yang besar. Semakin besar perbedaan ketinggian, semakin besar potensi energi yang dapat disimpan per volume air, dan semakin efisien konversi energi turbin dan pompa. Idealnya, perbedaan ketinggian ini minimal puluhan meter, bahkan ratusan meter untuk skala besar.

2. Ketersediaan Dua Reservoir atau Potensi Pembangunannya

Diperlukan dua reservoir yang terpisah: satu di elevasi tinggi dan satu di elevasi rendah.

  • Reservoir Atas (Upper Reservoir): Biasanya dibangun di puncak bukit atau gunung, seringkali berukuran lebih kecil karena hanya menampung air yang dipompa.
  • Reservoir Bawah (Lower Reservoir): Bisa berupa sungai, danau, atau reservoir PLTA konvensional yang ada.

Kedua reservoir ini harus memiliki volume yang cukup untuk menampung air yang dibutuhkan selama siklus pengisian (pemompaan) dan pengosongan (pembangkitan). Ketersediaan lahan yang memadai dan cocok untuk membangun reservoir baru (jika tidak ada yang eksisting) juga penting.

3. Jarak Relatif Dekat Antara Dua Reservoir

Meskipun perbedaan ketinggian itu penting, jarak horizontal antara reservoir atas dan bawah harus relatif dekat. Ini meminimalkan panjang pipa pesat (penstock) atau terowongan air yang diperlukan, yang pada gilirannya mengurangi biaya konstruksi dan kehilangan energi akibat gesekan.

4. Ketersediaan Air yang Cukup

PHS beroperasi sebagai sistem tertutup (air didaur ulang antara dua reservoir). Namun, tetap diperlukan sumber air awal untuk mengisi sistem (saat startup) dan untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi atau rembesan. Ketersediaan sumber air yang stabil, seperti sungai, danau, atau curah hujan, menjadi pertimbangan.

5. Kondisi Geologi yang Stabil dan Cocok

Struktur geologi di lokasi pembangunan harus stabil, padat, dan tidak mudah bergeser atau retak. Ini penting untuk menahan beban air di reservoir dan struktur bangunan. Batuan yang kuat dan kedap air sangat ideal untuk meminimalkan rembesan.

6. Aksesibilitas Lokasi

Meskipun lokasi yang terpencil mungkin menawarkan perbedaan ketinggian yang ideal, aksesibilitas untuk konstruksi dan pemeliharaan adalah faktor praktis. Jalan akses yang memadai untuk transportasi material dan peralatan berat sangat dibutuhkan.

7. Kedekatan dengan Jaringan Listrik

Lokasi PHS yang dekat dengan jaringan transmisi listrik tegangan tinggi akan mengurangi biaya pembangunan jalur transmisi baru dan meminimalkan kerugian transmisi. Ini juga memudahkan integrasi PHS ke dalam sistem tenaga listrik yang ada.

8. Dampak Lingkungan dan Sosial yang Dapat Dikelola

Seperti proyek infrastruktur besar lainnya, PHS dapat memiliki dampak lingkungan (perubahan habitat, kualitas air) dan sosial (pemindahan penduduk).

Bendungan yang baik adalah yang dampak-dampak ini dapat diidentifikasi, diminimalkan, dan dikelola secara efektif melalui studi AMDAL yang komprehensif dan partisipasi masyarakat.

Mengingat karakteristik-karakteristik ini, pencarian lokasi PHS yang ideal di Indonesia memerlukan studi kelayakan multi-disipliner yang mendalam.

Pengalaman saya mengamati proyek-proyek serupa di Thailand menunjukkan bahwa kombinasi topografi yang tepat, ketersediaan air, dan kondisi geologi yang stabil adalah kunci keberhasilan, selain dukungan kebijakan dan pendanaan yang kuat.

Apa Saja Komponen Penyimpanan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped Hydro Storage)?

Sistem Pumped-Hydro Storage (PHS) adalah fasilitas kompleks yang terintegrasi, terdiri dari beberapa komponen utama yang bekerja secara sinergis untuk menyimpan dan menghasilkan listrik.

Meskipun prinsipnya sederhana, rekayasa di baliknya sangat canggih. Berikut adalah komponen-komponen utamanya:

1. Reservoir Atas (Upper Reservoir)

Berfungsi sebagai "baterai" air di elevasi tinggi. Air dipompa ke sini saat ada kelebihan listrik, dan dilepaskan dari sini untuk menghasilkan listrik.

Ukuran reservoir atas bervariasi tergantung pada kapasitas penyimpanan energi yang diinginkan. Bisa berupa danau alami yang dimodifikasi atau reservoir buatan yang dibangun di puncak bukit/gunung.

2. Reservoir Bawah (Lower Reservoir)

Berada di elevasi yang lebih rendah dari reservoir atas. Menerima air dari reservoir atas saat pembangkitan listrik dan menyediakan air untuk dipompa kembali ke reservoir atas saat pengisian energi. Bisa berupa danau, sungai, atau reservoir PLTA konvensional yang sudah ada.

3. Saluran Air (Water Conduits)

Ini adalah sistem perpipaan atau terowongan yang menghubungkan reservoir atas dan bawah. Komponen utamanya adalah:

  • Pipa Pesat (Penstock): Pipa baja bertekanan tinggi yang membawa air dari reservoir atas ke turbin/pompa, atau sebaliknya. Dirancang untuk menahan tekanan air yang sangat besar.
  • Terowongan Air (Headrace/Tailrace Tunnels): Terowongan yang digali di bawah tanah atau gunung untuk mengalirkan air. Terkadang, digunakan alih-alih atau bersamaan dengan pipa pesat, terutama untuk proyek skala sangat besar.
  • Ruang Katup (Valve House): Berisi katup-katup besar yang mengontrol aliran air masuk dan keluar dari turbin/pompa.

4. Stasiun Pembangkit/Pompa (Powerhouse / Pumping Station)

Ini adalah jantung operasional PHS, biasanya terletak di bawah tanah atau di dasar bendungan bawah. Di sinilah konversi energi utama terjadi. Komponen pentingnya adalah:

  • Unit Turbin-Pompa (Pump-Turbine Units): Ini adalah komponen paling krusial dalam PHS. Berbeda dengan PLTA konvensional yang hanya memiliki turbin, PHS menggunakan mesin bolak-balik (reversible) yang dapat berfungsi sebagai turbin untuk menghasilkan listrik dan sebagai pompa untuk memompa air.
    • Mode Turbin: Air yang jatuh dari reservoir atas memutar turbin untuk menggerakkan generator.
    • Mode Pompa: Motor listrik menggunakan listrik dari jaringan untuk memutar pompa, mendorong air dari reservoir bawah ke atas.
  • **Generator/Motor (Generator/Motor): Terhubung ke turbin-pompa. Berfungsi sebagai generator saat menghasilkan listrik dan sebagai motor saat memompa air.

5. Sistem Kontrol dan Instrumentasi (Control and Instrumentation System)

Sistem ini memantau dan mengendalikan seluruh operasi PHS, termasuk pembukaan/penutupan katup, mode operasi (turbin atau pompa), kecepatan putar, dan sinkronisasi dengan jaringan listrik. Sistem ini memastikan PHS dapat merespons cepat terhadap perubahan kondisi jaringan.

6. Gardu Induk (Switchyard)

Setelah listrik dihasilkan oleh generator, ia dialirkan ke gardu induk. Di sini, tegangan listrik dinaikkan oleh transformator agar sesuai dengan tegangan jaringan transmisi dan disalurkan ke sistem kelistrikan nasional.

7. Jalur Transmisi (Transmission Lines)

Menghubungkan gardu induk PHS ke jaringan listrik yang lebih luas.

8. Sistem Keamanan dan Pemantauan

Meliputi sistem pemantauan gempa, deformasi struktur, tekanan air, dan sistem keamanan lainnya untuk memastikan integritas dan keselamatan fasilitas.

Desain dan konstruksi komponen-komponen ini memerlukan keahlian teknik sipil, hidrolik, mekanik, dan elektrik yang sangat tinggi, mengingat skala dan tekanan yang harus dihadapi oleh sistem PHS.

Bagaimana Cara Kerja Penyimpanan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped Hydro Storage)?

Cara kerja Pumped-Hydro Storage (PHS) adalah sebuah siklus yang memanfaatkan energi potensial air untuk menyimpan energi listrik dan melepaskannya kembali sesuai kebutuhan.

 


Proses ini dapat dibagi menjadi dua mode operasi utama: mode pengisian (charging/pemompaan) dan mode pelepasan (discharging/pembangkitan).

Mode 1: Pengisian Energi (Charging / Pemompaan Air)

Mode ini terjadi ketika ada kelebihan pasokan energi listrik di jaringan, atau ketika harga listrik sedang rendah. Listrik yang berlebih ini digunakan untuk memompa air. Tahapannya adalah sebagai berikut:

  1. Sinyal dari Grid Operator: Operator jaringan listrik (misalnya PLN) mendeteksi adanya surplus pasokan (misalnya dari pembangkitan PLTS yang tinggi di siang hari atau saat beban rendah di dini hari) atau kebutuhan untuk menyerap kelebihan kapasitas. Mereka kemudian mengirimkan sinyal ke fasilitas PHS untuk beralih ke mode pemompaan.
  2. Penggunaan Listrik untuk Motor/Pompa: Energi listrik yang berlebih dari jaringan dialirkan ke generator/motor di stasiun pembangkit. Generator/motor ini beralih fungsi menjadi motor listrik.
  3. Pompa Mengangkat Air: Motor listrik memutar turbin-pompa yang kini berfungsi sebagai pompa. Pompa ini mulai menarik air dari reservoir bawah dan mendorongnya melalui pipa pesat (penstock) atau terowongan air.
  4. Penyimpanan Energi Potensial: Air yang dipompa naik melawan gravitasi menuju reservoir atas. Dengan menaikkan ketinggian air, energi listrik diubah dan disimpan dalam bentuk energi potensial gravitasi air. Proses pemompaan ini berlanjut hingga reservoir atas penuh atau sinyal dari operator jaringan berubah.

Pada dasarnya, pada mode pengisian, PHS berperan sebagai "beban" yang menyerap listrik berlebih dari jaringan, membantu menstabilkan frekuensi dan mencegah pemborosan energi.

Mode 2: Pelepasan Energi (Discharging / Pembangkitan Listrik)

Mode ini terjadi ketika ada peningkatan permintaan listrik di jaringan (beban puncak, misalnya di malam hari) atau ketika harga listrik sedang tinggi. Energi potensial yang tersimpan di reservoir atas kemudian diubah kembali menjadi energi listrik. Tahapannya adalah sebagai berikut:

  1. Sinyal dari Grid Operator: Operator jaringan listrik mendeteksi adanya lonjakan permintaan listrik atau kekurangan pasokan. Mereka kemudian mengirimkan sinyal ke fasilitas PHS untuk beralih ke mode pembangkitan.
  2. Pelepasan Air dari Reservoir Atas: Katup-katup di saluran air dibuka, memungkinkan air dari reservoir atas mengalir ke bawah karena gravitasi melalui pipa pesat (penstock) atau terowongan air.
  3. Turbin Menghasilkan Gerak Putar: Aliran air bertekanan tinggi ini membentur bilah-bilah turbin-pompa yang kini berfungsi sebagai turbin. Dorongan air memutar turbin dengan kecepatan tinggi, mengubah energi potensial air menjadi energi kinetik rotasi.
  4. Generator Menghasilkan Listrik: Turbin yang berputar menggerakkan generator/motor yang kini berfungsi sebagai generator. Generator ini mengubah energi kinetik rotasi menjadi energi listrik.
  5. Penyaluran Listrik ke Jaringan: Listrik yang dihasilkan kemudian dialirkan melalui gardu induk dan jalur transmisi ke jaringan listrik nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Air yang telah melewati turbin akan kembali ke reservoir bawah, siap untuk dipompa kembali ke atas saat siklus pengisian berikutnya. Proses ini berulang sesuai dengan fluktuasi pasokan dan permintaan listrik sepanjang hari atau musim.

Efisiensi pulang-pergi (round-trip efficiency) PHS, yaitu rasio antara energi listrik yang dihasilkan terhadap energi listrik yang digunakan untuk memompa, umumnya berkisar 70% hingga 85%. Ini menjadikannya salah satu teknologi penyimpanan energi berskala besar yang paling efisien dan andal.


Kelebihan dan Kekurangan Penyimpanan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped Hydro Storage) Dibandingkan dengan Baterai

Pumped-Hydro Storage (PHS) dan sistem penyimpanan energi berbasis baterai (Battery Energy Storage Systems/BESS) adalah dua teknologi utama untuk penyimpanan energi listrik berskala besar.

Keduanya memiliki peran penting dalam mendukung jaringan listrik modern, namun dengan karakteristik, kelebihan, dan kekurangan yang berbeda, terutama dari aspek dampak lingkungan, biaya investasi, dan biaya operasional.

A. Aspek Dampak Lingkungan

Pumped-Hydro Storage (PHS):

  • Kelebihan:
    • Teknologi Bersih: Tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca atau polutan udara selama operasi.
    • Umur Panjang: Fasilitas PHS dapat beroperasi selama 50-100 tahun atau lebih.
    • Material Utama Air dan Batuan: Material utama yang digunakan adalah air dan batuan alami, dengan dampak lingkungan yang lebih minimal dalam jangka panjang (setelah konstruksi).
  • Kekurangan:
    • Dampak Konstruksi Awal yang Signifikan: Pembangunan reservoir dan saluran air dapat menyebabkan perubahan habitat, deforestasi, potensi longsor, dan perubahan pola aliran air sungai. Perlu studi AMDAL yang ketat.
    • Pemindahan Penduduk: Proyek skala besar dapat memerlukan pemindahan komunitas lokal.
    • Evaporasi Air: Kehilangan air melalui evaporasi dari reservoir, terutama di iklim panas.

Baterai (BESS):

  • Kelebihan:
    • Emisi Operasional Nol: Tidak menghasilkan emisi saat beroperasi.
    • Modular dan Skalabilitas: Dapat dipasang di mana saja dan diperluas sesuai kebutuhan.
    • Dampak Lokasi Minimal: Tidak memerlukan lahan luas atau perubahan topografi signifikan.
  • Kekurangan:
    • Penambangan Material: Produksi baterai (terutama lithium-ion) memerlukan penambangan lithium, kobalt, nikel, dan mangan, yang dapat menyebabkan dampak lingkungan (kerusakan lahan, polusi air) dan isu etika.
    • Daur Ulang dan Pembuangan: Masalah limbah baterai di akhir masa pakainya. Proses daur ulang masih berkembang dan mahal, dan pembuangan yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
    • Umur Pakai Terbatas: Baterai memiliki siklus hidup terbatas (biasanya 10-15 tahun) sebelum perlu diganti, menambah volume limbah.
    • Risiko Kebakaran: Baterai lithium-ion memiliki risiko termal runaway dan kebakaran jika rusak atau tidak dikelola dengan baik.

B. Aspek Biaya Investasi

Pumped-Hydro Storage (PHS):

  • Kelebihan:
    • Biaya Per Unit Kapasitas Rendah untuk Skala Sangat Besar: Untuk proyek skala gigawatt-jam (GWh), PHS memiliki biaya kapital per unit energi yang relatif lebih rendah dibandingkan BESS.
    • Umur Ekonomis Sangat Panjang: Investasi awal yang besar diamortisasi selama masa pakai yang sangat panjang (50-100 tahun), sehingga biaya tahunan relatif rendah.
  • Kekurangan:
    • Biaya Kapital Awal yang Sangat Tinggi: Memerlukan investasi awal yang kolosal untuk konstruksi sipil (bendungan, terowongan, stasiun pembangkit), membuatnya hanya layak untuk proyek skala sangat besar.
    • Waktu Pembangunan Lama: Proses perencanaan dan konstruksi bisa memakan waktu 5-10 tahun atau lebih.
    • Ketergantungan Lokasi: Terbatas pada lokasi geografis yang spesifik.

Baterai (BESS):

  • Kelebihan:
    • Skala Fleksibel: Dapat dibangun dalam berbagai ukuran, dari kilowatt-jam hingga ratusan megawatt-jam.
    • Waktu Pembangunan Cepat: Relatif cepat untuk diinstal dan dioperasikan (bulan hingga 1-2 tahun).
    • Harga Menurun Cepat: Biaya per unit kapasitas baterai terus menurun secara dramatis.
  • Kekurangan:
    • Biaya Per Unit Kapasitas Tinggi untuk Skala Sangat Besar: Untuk proyek skala GWh, biaya baterai masih jauh lebih tinggi daripada PHS.
    • Perlu Penggantian: Komponen baterai perlu diganti secara berkala (setelah 10-15 tahun), yang merupakan biaya kapital berulang.

C. Aspek Biaya Operasional

Pumped-Hydro Storage (PHS):

  • Kelebihan:
    • Biaya Bahan Bakar Nol: Tidak memerlukan bahan bakar eksternal selain listrik untuk memompa air.
    • Biaya O&M Relatif Rendah: Biaya operasi dan pemeliharaan (O&M) per unit energi yang dihasilkan relatif rendah setelah konstruksi selesai.
    • Efisiensi Tinggi: Efisiensi pulang-pergi (round-trip efficiency) yang tinggi (70-85%).
  • Kekurangan:
    • Kebutuhan Air: Memerlukan ketersediaan air yang cukup untuk mengisi sistem dan mengganti evaporasi.
    • Dampak Lingkungan Jangka Panjang: Perlu pemantauan lingkungan berkelanjutan.

Baterai (BESS):

  • Kelebihan:
    • Waktu Respons Sangat Cepat: Mampu merespons perubahan beban dalam milidetik, ideal untuk layanan tambahan jaringan (misalnya pengaturan frekuensi).
    • Fleksibilitas Operasional: Dapat beroperasi dalam berbagai kondisi suhu (dengan sistem pendingin/pemanas).
  • Kekurangan:
    • Degradasi Kapasitas: Kapasitas baterai menurun seiring waktu dan siklus penggunaan.
    • Biaya Penggantian: Biaya penggantian sel atau modul baterai di akhir masa pakai.
    • Biaya Pendinginan/Pemanasan: Memerlukan energi untuk sistem termal manajemen.
    • Efisiensi: Efisiensi pulang-pergi yang sedikit lebih rendah dari PHS (80-90% untuk baterai baru, namun menurun seiring degradasi).

Secara keseluruhan, PHS adalah solusi yang ideal untuk penyimpanan energi berskala gigawatt-jam dan jangka panjang, menawarkan umur panjang dan biaya operasional yang rendah setelah investasi awal yang besar.

Baterai lebih cocok untuk aplikasi yang memerlukan respons sangat cepat, modularitas, dan waktu penyimpanan yang lebih pendek (menit hingga beberapa jam), serta untuk lokasi yang tidak memungkinkan PHS. Keduanya merupakan pelengkap dalam ekosistem energi terbarukan.


Kesimpulan

Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam menyeimbangkan pasokan dan permintaan energi listrik. Fenomena surplus pasokan di siang hari, yang akan semakin meningkat seiring dengan masifnya adopsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) rooftop, dan lonjakan beban di malam hari, yang berpotensi diperparah oleh masifnya pengisian daya kendaraan listrik, menuntut solusi penyimpanan energi yang handal dan berskala besar.

Penyimpanan Energi Listrik dengan Pompa Air (Pumped-Hydro Storage/PHS) muncul sebagai teknologi yang sangat menjanjikan. PHS memanfaatkan kelebihan listrik di siang hari untuk memompa air dari reservoir bawah ke reservoir atas (menyimpan energi potensial), dan kemudian melepaskan air tersebut untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik saat permintaan tinggi di malam hari.

Siklus ini, meskipun sederhana secara konsep, adalah hasil rekayasa canggih yang melibatkan reservoir atas dan bawah, saluran air, unit turbin-pompa, generator/motor, serta sistem kontrol yang kompleks.

Dengan topografi yang berbukit-bukit dan banyaknya sungai, Indonesia memiliki potensi bendungan yang signifikan untuk pengembangan PHS, seperti yang dicontohkan oleh proyek PLTA Upper Cisokan Pumped Storage (UCPS).

Bendungan yang ideal untuk PHS memiliki perbedaan ketinggian yang besar antara dua reservoir, jarak yang relatif dekat, ketersediaan air yang cukup, kondisi geologi yang stabil, aksesibilitas yang baik, dan kedekatan dengan jaringan listrik.

Dibandingkan dengan sistem baterai (BESS), PHS memiliki keunggulan dalam skala yang sangat besar (gigawatt-jam), umur operasional yang sangat panjang (50-100 tahun), dan biaya operasional yang rendah setelah investasi awal yang besar.

Meskipun PHS memiliki dampak lingkungan signifikan pada tahap konstruksi dan memerlukan waktu pembangunan yang lama, dampaknya lebih stabil dalam jangka panjang dibandingkan BESS yang memiliki tantangan terkait penambangan material, daur ulang limbah baterai, dan umur pakai yang terbatas.

Baterai, di sisi lain, unggul dalam modularitas, waktu respons yang cepat, dan pembangunan yang lebih singkat, menjadikannya pelengkap ideal bagi PHS untuk aplikasi yang berbeda.

Sebagai seorang insinyur yang telah mengamati langsung teknologi PHS di Thailand, saya melihat bahwa investasi pada PHS sangat vital bagi Indonesia. Ini bukan hanya tentang menghasilkan listrik, tetapi juga tentang:

  • Menjaga Stabilitas Jaringan: Menyeimbangkan fluktuasi pasokan dari energi terbarukan intermiten.
  • Mengoptimalkan Pemanfaatan Sumber Daya: Memaksimalkan penggunaan listrik surplus yang seharusnya terbuang.
  • Mengurangi Ketergantungan pada Pembangkit Fosil: Mengurangi kebutuhan akan pembangkit peaker yang kurang efisien dan lebih mahal.
  • Mendukung Adopsi Energi Terbarukan: Menjadi tulang punggung bagi pengembangan PLTS dan PLTB yang masif di masa depan.

Dengan perencanaan yang matang, kajian lingkungan dan sosial yang komprehensif, serta dukungan kebijakan yang kuat, Pumped-Hydro Storage dapat menjadi solusi kunci untuk mewujudkan sistem energi listrik Indonesia yang lebih stabil, efisien, dan berkelanjutan.


Tentang Penulis

Ardhy Yuliawan Norma Sakti

Ardhy merupakan founder dari platform Cara Kerja Teknologi. Ardhy menempuh pendidikan S1 Teknik Industri di Universitas Sebelas Maret (UNS) Indonesia dan pendidikan S2 bidang Engineering Technology di SIIT, Thammasat University Thailand. Ardhy memiliki pengalaman kerja selama 4 tahun sebagai staf Insinyur di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) hingga bulan September tahun 2021. Kemudian pada tahun yang sama, Ardhy dipindah tugaskan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hingga sekarang.

Portofolio Penulis: Google Scholar | ORCID | SINTA | Scopus

Komentar